PEMBAHARUAN
ISLAM DI INDONESIA
Sumber: Eka Hendry. Dosen IAIN PONTIANAK
A. Penetrasi Gagasan Pembaharuan Islam di Indonesia
Menurut Thomas W. Arnold (1950) Islam di Asia
Tenggara memiliki watak yang lebih ramah, damai, dan toleran dibandingkan
dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia maupun Eropa. Hal
serupa juga terjadi dalam penyebaran Islam di Indonesia yang disebarkan melalui
jalur perdagangan.
Pada abat ke 17 dibangun jaringan ulama nusantara
yang terjalin kontak hubungan dengan ulama-ulama di timur tengah dan melahirkan
beberapa ulama terkemuka di Nusantara. Seperti hubungan ulama Ahmad Al-Qusyasyi
dan Ibrahim al-Kurani yang melahirkan generasi seperti Ar-Raniri, Abd. Ra’uf
as-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Makasari. Demikian pula gerakan pemabaharuan
yang dilakukan oleh gerakan wahabiah di Saudi Arabia yang menginspirasi dan
melahirkan pemurnian agama seperti yang dilakukan olekh gerakan kaum Padri,
Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
Gagasan pembaharuan atau modernisasi yang juga
datang dari daerah-daerah seperti Pakistan, India, dan Mesir juga memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan modernisasi yang ada di
Indonesia. Gerakan modernisasi yang dilakukan oleh Faham Ikhwan al-Shafa,
Ikhwan al-Muslimin, Jami’at al-Islami merupakan gerakan yang memberikan banyak
kontribusi terhadap perkembangan pemikiran Islam di Nusantara.
B. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Pembaharuan yang dimaksud disini ialah upaya untuk
kembali memurnikan ajaran Islam dari “karat” dan sedimentasi yang disebabkan
oleh proses perubahan dan perkembangan Islam dalam rentang waktu yang panjang
dari masa kemunculannya. Pembaharuan ini bisa masukkan dalam bahasa Sutrisno
Kutoyo, pelapukan tersebut dapat diibaratkan dengan bejana logam, ketika masih
baru warnanya kinclong dan berkilau, namun jika sudah lama atau usang warnanya
akan memudar akibat tertutup oleh debu dan jelaja. Tetapi kalau dibersihkan, ia
akan kembali kinclong dan berkilau. Upaya pembaharuan ini kurang lebih sama
seperti yang diungkapkan Sutrisno Kutoyo, yaitu perlu “dibersihkan” atau
“disegarkan kembali”.
Lutfi as-Syaukanie mengistilahkan gerakan
pembaharuan tersebut sebagai gerakan liberal dalam artian , semua gerakan
tersebut memiliki benang merah yang kontinum yaitu semangat dan perasaan untuk
membebaskan ummat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak lima
abad terakhir. Menurut lutfi, meskipun mereka (para pembaharu) boleh jadi
berbeda dalam metode danpendekatan pembaharuan yang dilakukan, namun mereka
memilki kesamaan dalam menyikapi kondisi yang ada. Mereka berkeyakinan bahwa
hanya dengan pembebasan diri yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih
baik, seperti melawan penjajah, menentang taqlid, khurafat, bid’ah dlsb.
C. Priodeisasi Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
Eka Hendry membagi proses pembaharuan dan
kebangkitan Islam di Indonesia ke dalam 4 prode, yaitu : 1) priode pembahu
generasi pertama (16 M hingga awal abad 17), 2) priode modernis generasi kedua
(19 m hingga awal abad 20 M), 3) priode modernis generasi ketiga (generasi
priode awal abad 20, tepatnya generasi 70-an hingga 80-an) dan 4) generasi
modernis keempat (akhir abad 20 dan awal abad 21).
Priode pertama ditandai dengan lahirnya ulama-ulama
Islam generasi pertama yang berupaya mengontrodusi paham-paham pembaharuan
dalam agama. Beberapa diantaranya ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani
dlsb. Mereka melakukan pembaharuan dalam bidang tasawuf, dengan menampilkan
tasawuf falsafi (heterodok) di tengah popularitas dan hegemoni penganut tasawuf
‘amali (ortodok) dari kalangan sunni.
Dalam sejarah pembaharuan islam di Indonesia memang
priode ini jarang dirujuk sebagai proses sebagai pemabaharuan Islam di Indonesia.
Sebagian ahli sejarah Indonesia memang merujuk kebangkitan pada abad 19 dan
abad 20 M sebagai priode pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Priode ke-2 (abad 19 M), di antara gerakan
kebangkitan yang sering dirujuk sebagai inspirasi bagi kebangkitan Islam di
Nusantara adalah di antaranya gerakan wahabiah dari Saudi Arabia dan
pembaharuan islam oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-muridnya seperti
Muhammad Abduh dan rasyid Ridha.
Diantara tokoh dari gerakan ini adalah Imam Bonjol,
Haji Miskin, Tuanku Tambuse, dll yang baru kembali belajar di Mekkah yang
diduga terpengaruh oleh paham pemurnian (purifikasi) Wahabiah. Upaya
pembaharuan ini ditentang oleh kaum adat (yang didukung oleh pihak
kolonialisme) yang kemudian berbuntut panjang dengan peperangan yang dikenal
dengan perang padri. Perang tersebut berlangsung kurang lebih selama 15 tahun.
Selain
gerakan Padri di Sumatera juga dilakukan upaya pembaharuan dalam bidang
pendidikan Islam seperti yang dilakukan oleh Muhammad Djamil Djambek
Bukittinggi (1860-1947), Muhammad thaib Umar Sungayang (1874-1920), Abdullah
Ahmad (1878-1933) dan Haji Agus Salim (1884-1954). Mereka-mereka ini oleh
Mahmud yunus dikatakan sebagai ulama-ulama yang berjasa mengusahakan perubahan
pendidikan Islam di Minangkabau dan beberapa tempat lainnya.
Priode ke-3 (awal abad 20), priode ini ditandai
dengan bermunculannya organisasi-organisasi social kemasyarakatan dan partai
politik Islam, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo
(1911), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di
Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920), Nahdhatul Ulama
(NU) di Surabaya (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung
Bukittinggi (1930) dan beberapa partai politik seperti Sarekat Islam (SI),
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan
kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib dan Partai Islam
Indonesia (PII) tahun 1938 dan termasuk juga Partai Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi) tahun 1945.
Para pemimpin Masyumi bersikeras untuk menjadikan
Islam sebagai asas Negara Indonesia. Polemik ini telah popular dengan sebutan
“Piagam Jakarta” yang kemudian oleh Pemerintah Orde Lama (ORLA) dan Orde Baru
(ORBA) dijadikan dasar penilaian bahwa muslim modernis sebagai pembuat
kesulitan.
Jadi, para tokoh Masyumi dapat dikategorikan sebagai
mereka yang berfikir formalis dan simbolik, karena upaya Islamisasi yang
digagas adalah kepada hal-hal yang bersifat formalis dan simbolik, seperti
perbankan Islam, perbaikan system peradilan Islam, undang-undang perkawinan
berdasarkan al-Qur’an, izin bagi siswa perempuan untuk menggunakan jilbab di
sekolah. Hal-hal tersebut oleh pemerintah dicurigai sebagai scenario untuk
menuju Negara Islam Indonesia.
Generasi modernis ke-4 (akhir abad 20 dan awal abad
21 M) tepatnya dimulai dari era tahun 70-an. Greg Barton menyebutnya sebagai
generasi neo-modernisme Islam Indonesia. Tokoh-tokoh yang menonjol dari priode
ini diantaranya ialah Nurchalis Madjid, Ahmad Wahib, Johan Efendi, Abdurrahman
Wahid dll.
Gerakan yang dilakukan oleh generasi 70-an hingga
80-an ini dianggap yang paling fundamental dari proses pembaharuan di era
kontemporer Indonesia. Era ini menandai bermunculan gerakan-gerakan pembaharuan
keagamaan di Indonesia yang menawarkan gagasan-gagasan pembaharuan yang lebih
berani dan vulgar dibanding dengan sebelumnya. Fonomena Jaringan Islam Liberal
(JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) merupakan beberapa
contoh metamorfosa kontemporer dari pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Ada tiga faktor yang menjadi pendukung
berkembang pesatnya tradisi pemikiran pembaharuan pada priode ini. Pertama,
kondisi ini terkait dengan peta kebijakan politik pemerintah, baik pada masa
Orde Baru terleih lagi Orde Reformasi. Kedua, dikarenakan menjamurnya
percetakan-percetakan buku yang secara intensif menerbitkan semua gagasan
tersebut, dan melemparkannya ke tengah-tengah publik secara luas dan bebas.
Ketiga, kemajuan dalam bidang informatika dan komunikasi juga memberikan andil
yang besar bagi proses inseminasi persemaian gagasan pembaharuan, karena setiap
orang dapat dengan mudah mengakses internet untuk mencari apa saja yang mereka
mau. Media yang paling sederhana misalnya televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar