Rabu, 18 Januari 2017

PPMDI_IAIN PTK

PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA
Sumber: Eka Hendry. Dosen IAIN PONTIANAK

A.    Penetrasi Gagasan Pembaharuan Islam di Indonesia
Menurut Thomas W. Arnold (1950) Islam di Asia Tenggara memiliki watak yang lebih ramah, damai, dan toleran dibandingkan dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia maupun Eropa. Hal serupa juga terjadi dalam penyebaran Islam di Indonesia yang disebarkan melalui jalur perdagangan.
Pada abat ke 17 dibangun jaringan ulama nusantara yang terjalin kontak hubungan dengan ulama-ulama di timur tengah dan melahirkan beberapa ulama terkemuka di Nusantara. Seperti hubungan ulama Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani yang melahirkan generasi seperti Ar-Raniri, Abd. Ra’uf as-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Makasari. Demikian pula gerakan pemabaharuan yang dilakukan oleh gerakan wahabiah di Saudi Arabia yang menginspirasi dan melahirkan pemurnian agama seperti yang dilakukan olekh gerakan kaum Padri, Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
Gagasan pembaharuan atau modernisasi yang juga datang dari daerah-daerah seperti Pakistan, India, dan Mesir juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan modernisasi yang ada di Indonesia. Gerakan modernisasi yang dilakukan oleh Faham Ikhwan al-Shafa, Ikhwan al-Muslimin, Jami’at al-Islami merupakan gerakan yang memberikan banyak kontribusi terhadap perkembangan pemikiran Islam di Nusantara.
B.     Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Pembaharuan yang dimaksud disini ialah upaya untuk kembali memurnikan ajaran Islam dari “karat” dan sedimentasi yang disebabkan oleh proses perubahan dan perkembangan Islam dalam rentang waktu yang panjang dari masa kemunculannya. Pembaharuan ini bisa masukkan dalam bahasa Sutrisno Kutoyo, pelapukan tersebut dapat diibaratkan dengan bejana logam, ketika masih baru warnanya kinclong dan berkilau, namun jika sudah lama atau usang warnanya akan memudar akibat tertutup oleh debu dan jelaja. Tetapi kalau dibersihkan, ia akan kembali kinclong dan berkilau. Upaya pembaharuan ini kurang lebih sama seperti yang diungkapkan Sutrisno Kutoyo, yaitu perlu “dibersihkan” atau “disegarkan kembali”.
Lutfi as-Syaukanie mengistilahkan gerakan pembaharuan tersebut sebagai gerakan liberal dalam artian , semua gerakan tersebut memiliki benang merah yang kontinum yaitu semangat dan perasaan untuk membebaskan ummat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak lima abad terakhir. Menurut lutfi, meskipun mereka (para pembaharu) boleh jadi berbeda dalam metode danpendekatan pembaharuan yang dilakukan, namun mereka memilki kesamaan dalam menyikapi kondisi yang ada. Mereka berkeyakinan bahwa hanya dengan pembebasan diri yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik, seperti melawan penjajah, menentang taqlid, khurafat, bid’ah dlsb.

C.     Priodeisasi Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
Eka Hendry membagi proses pembaharuan dan kebangkitan Islam di Indonesia ke dalam 4 prode, yaitu : 1) priode pembahu generasi pertama (16 M hingga awal abad 17), 2) priode modernis generasi kedua (19 m hingga awal abad 20 M), 3) priode modernis generasi ketiga (generasi priode awal abad 20, tepatnya generasi 70-an hingga 80-an) dan 4) generasi modernis keempat (akhir abad 20 dan awal abad 21).
Priode pertama ditandai dengan lahirnya ulama-ulama Islam generasi pertama yang berupaya mengontrodusi paham-paham pembaharuan dalam agama. Beberapa diantaranya ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dlsb. Mereka melakukan pembaharuan dalam bidang tasawuf, dengan menampilkan tasawuf falsafi (heterodok) di tengah popularitas dan hegemoni penganut tasawuf ‘amali (ortodok) dari kalangan sunni.
Dalam sejarah pembaharuan islam di Indonesia memang priode ini jarang dirujuk sebagai proses sebagai pemabaharuan Islam di Indonesia. Sebagian ahli sejarah Indonesia memang merujuk kebangkitan pada abad 19 dan abad 20 M sebagai priode pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Priode ke-2 (abad 19 M), di antara gerakan kebangkitan yang sering dirujuk sebagai inspirasi bagi kebangkitan Islam di Nusantara adalah di antaranya gerakan wahabiah dari Saudi Arabia dan pembaharuan islam oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-muridnya seperti Muhammad Abduh dan rasyid Ridha.
Diantara tokoh dari gerakan ini adalah Imam Bonjol, Haji Miskin, Tuanku Tambuse, dll yang baru kembali belajar di Mekkah yang diduga terpengaruh oleh paham pemurnian (purifikasi) Wahabiah. Upaya pembaharuan ini ditentang oleh kaum adat (yang didukung oleh pihak kolonialisme) yang kemudian berbuntut panjang dengan peperangan yang dikenal dengan perang padri. Perang tersebut berlangsung kurang lebih selama 15 tahun.
 Selain gerakan Padri di Sumatera juga dilakukan upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam seperti yang dilakukan oleh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi (1860-1947), Muhammad thaib Umar Sungayang (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933) dan Haji Agus Salim (1884-1954). Mereka-mereka ini oleh Mahmud yunus dikatakan sebagai ulama-ulama yang berjasa mengusahakan perubahan pendidikan Islam di Minangkabau dan beberapa tempat lainnya.
Priode ke-3 (awal abad 20), priode ini ditandai dengan bermunculannya organisasi-organisasi social kemasyarakatan dan partai politik Islam, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920), Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung Bukittinggi (1930) dan beberapa partai politik seperti Sarekat Islam (SI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib dan Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938 dan termasuk juga Partai Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) tahun 1945.
Para pemimpin Masyumi bersikeras untuk menjadikan Islam sebagai asas Negara Indonesia. Polemik ini telah popular dengan sebutan “Piagam Jakarta” yang kemudian oleh Pemerintah Orde Lama (ORLA) dan Orde Baru (ORBA) dijadikan dasar penilaian bahwa muslim modernis sebagai pembuat kesulitan.
Jadi, para tokoh Masyumi dapat dikategorikan sebagai mereka yang berfikir formalis dan simbolik, karena upaya Islamisasi yang digagas adalah kepada hal-hal yang bersifat formalis dan simbolik, seperti perbankan Islam, perbaikan system peradilan Islam, undang-undang perkawinan berdasarkan al-Qur’an, izin bagi siswa perempuan untuk menggunakan jilbab di sekolah. Hal-hal tersebut oleh pemerintah dicurigai sebagai scenario untuk menuju Negara Islam Indonesia.
Generasi modernis ke-4 (akhir abad 20 dan awal abad 21 M) tepatnya dimulai dari era tahun 70-an. Greg Barton menyebutnya sebagai generasi neo-modernisme Islam Indonesia. Tokoh-tokoh yang menonjol dari priode ini diantaranya ialah Nurchalis Madjid, Ahmad Wahib, Johan Efendi, Abdurrahman Wahid dll.
Gerakan yang dilakukan oleh generasi 70-an hingga 80-an ini dianggap yang paling fundamental dari proses pembaharuan di era kontemporer Indonesia. Era ini menandai bermunculan gerakan-gerakan pembaharuan keagamaan di Indonesia yang menawarkan gagasan-gagasan pembaharuan yang lebih berani dan vulgar dibanding dengan sebelumnya. Fonomena Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) merupakan beberapa contoh metamorfosa kontemporer dari pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Ada tiga faktor yang menjadi pendukung berkembang pesatnya tradisi pemikiran pembaharuan pada priode ini. Pertama, kondisi ini terkait dengan peta kebijakan politik pemerintah, baik pada masa Orde Baru terleih lagi Orde Reformasi. Kedua, dikarenakan menjamurnya percetakan-percetakan buku yang secara intensif menerbitkan semua gagasan tersebut, dan melemparkannya ke tengah-tengah publik secara luas dan bebas. Ketiga, kemajuan dalam bidang informatika dan komunikasi juga memberikan andil yang besar bagi proses inseminasi persemaian gagasan pembaharuan, karena setiap orang dapat dengan mudah mengakses internet untuk mencari apa saja yang mereka mau. Media yang paling sederhana misalnya televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar